Senin, 02 Agustus 2010

Tentang Riba

MEMBANGKITKAN EKONOMI NON-RIBAWI
Oleh : Rohmanur Aziz
Merespon bahasan materi ahad kebersamaam 1 Agustus 2010 oleh Ustadz Yayan Supriatna tentang praktik rentenir atau ribawi yang marak saat ini, saya ingin menyampaikan bahwa riba bukan hanya persoalan umat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba. Hampir semua agama setuju bahwa praktek riba itu merugikan dan harus disingkirkan.
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 : ...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.... Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh pihak bank.
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.
• Riba Qardh yaitu: suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
• Riba Jahiliyyah yaitu: hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
• Riba Fadhl yaitu: pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
• Riba Nasi’ah yaitu: penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

Tradisi Berhutang
Tidak ada keraguan lagi bahwa menghutangkan harta kepada orang lain merupakan perbuatan terpuji yang dianjurkan syariat, dan merupakan salah satu bentuk realisasi dari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang melapangkan seorang mukmin dari kedukaan dunia, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan melapangkan untuknya kedukaan akhirat”. Para ulama mengangkat permasalahan ini, dengan memperbandingkan keutamaan antara menghutangkan dengan bersedekah. Manakah yang lebih utama? Sekalipun kedua hal tersebut dianjurkan oleh syariat, akan tetapi dalam sudut kebutuhan yang dharurat, sesunggguhnya orang yang berhutang selalu berada pada posisi terjepit dan terdesak, sehingga dia berhutang. Sehingga menghutangkan disebut lebih utama dari sedekah, karena yang seseorang yang diberikan pinjaman hutang, orang tersebut pasti membutuhkan. Adapun bersedekah, belum tentu yang menerimanya pada saat itu membutuhkannya. Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata kepada Jibril: “Kenapa hutang lebih utama dari sedekah?” Jibril menjawab,”Karena peminta, ketika dia meminta dia masih punya. Sedangkan orang yang berhutang, tidaklah mau berhutang, kecuali karena suatu kebutuhan”. Akan tetapi hadits ini dhaif, karena adanya Khalid bin Yazid ad Dimasyqi.
Jelaslah nampak bahwa praktik ribawi dalam hutang piutang lebih banyak madlorot-nya daripada manfaat-nya. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya untuk menanggulangi masalah ini. Menanggapi gejala penyakit sosial ini, Pengurus RW, RT, DKM, dan sesepuh Griya Utama Rancaekek akan mengajak kepada seluruh warga untuk:
1. Bersatupadu untuk keluar dari praktik ribawi dan membangun sebuah sistem ekonomi syari’ah di level Rukun Warga 34 dengan turut menjadi anggota koperasi syari’ah yang rencananya akan segera diwujudkan.
2. Membangun kesadaran bahwa peduli pada diri sendiri, keluarga, lingkungan dan ketetanggaan itu penting terutama terkait dengan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat baik yang sifatnya jasmaniyah maupun ruhaniyah.
3. Mewujudkan sikap ikhlas dan tunduk pada perintah agama untuk tidak terjebak pada praktik ribawi.

Wallohu a’ lam

( Penulis adalah Ketua DKM AL Mu'minuun Perum Griya Utama Rancaekek - Bandung )